Rumusan sila pertama Pancasila dalam Piagam Jakarta yang berbunyi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” mengalami perubahan pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Perubahan ini dilatarbelakangi oleh beberapa alasan, antara lain:
1. Pertimbangan untuk persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia merupakan negara dengan beragam suku bangsa dan agama.
Piagam Jakarta dengan rumusan sila pertamanya yang berfokus pada syariat Islam, dikhawatirkan dapat menimbulkan kecemburuan dan perpecahan di kalangan kelompok non-Muslim.
2. Akomodasi aspirasi dari berbagai pihak
Perwakilan dari Indonesia Timur menyatakan keberatan terhadap rumusan sila pertama Piagam Jakarta. Mereka menginginkan rumusan yang lebih inklusif dan dapat diterima oleh semua pihak.
3. Menjaga toleransi dan kerukunan antarumat beragama
Indonesia menjunjung tinggi toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Rumusan sila pertama Pancasila yang diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dianggap lebih netral dan dapat mengakomodasi keyakinan semua agama di Indonesia.
4. Menghindari potensi konflik dan perpecahan
Penerapan syariat Islam secara menyeluruh dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik dan perpecahan di masyarakat.
Rumusan sila pertama Pancasila yang diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dianggap lebih aman dan kondusif untuk menjaga persatuan bangsa.
Perubahan sila pertama Pancasila ini merupakan hasil dari kompromi dan musyawarah para pendiri bangsa.
Hal ini menunjukkan bahwa Pancasila lahir dari semangat persatuan dan kesatuan, serta menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan kerukunan antarumat beragama.
Proses perubahan sila pertama Pancasila ini merupakan bagian penting dari sejarah bangsa Indonesia dan menjadi bukti komitmen para pendiri bangsa untuk membangun negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.