Teori Ksatria dikemukakan oleh C.C. Berg dan Mookerji yang beranggapan bahwa mengatakan bahwa proses kedatangan agama Hindu ke Indonesia dilangsungkan oleh para ksatria, yakni golongan bangsawan dan prajurit perang.
Ksatria-ksatria yang berasal dari India memiliki saham yang besar yang diperoleh baik dengan cara merebut kekuasaan maupun dengan cara yang lebih halus dalam terbentuknya dinasti-dinasti yang ada di pulau Jawa.
Kemudian para ksatria-ksatria tersebut menikahi putri-putri pribumi dari golongan terkemuka dan menghasilkan keturunan yang mengikuti sang ayah.
Menurut teori ini, kedatangan para ksatria ke Indonesia disebabkan oleh persoalan politik yang terus berlangsung di India sehingga mengakibatkan beberapa pihak yang kalah dalam peperangan tersebut terdesak, dan para ksatria yang kalah akhirnya mencari tempat lain sebagai pelarian, salah satunya ke wilayah Indonesia.
Teori Ksatria Menurut Moens
Moens sependapat dengan Berg mengenai teori ksatria, hanya saja Moens menghubungkan antara mulainya dinasti-dinsati kerajaan tertentu di pulau Jawa, Sumatra, dan Malaka dengan peristiwa- peristiwa tertentu di India.
Runtuhnya dinasti-dinasti kerajaan yang berkuasa di India membuat keturunan-keturunan dari dinasti tersebut menyingkir ke Kepulauan Indonesia yang nantinya menjadi nenek moyang dinasti-dinasti Hindu-Budha di Indonesia.
Teori ksatria yang dikemukakan oleh Prof. Dr. J.L. Moens menyatakan bahwa ajaran Hindu dan Buddha masuk ke Indonesia dibawa oleh kaum ksatria pada abad ke 4-6 M, namun kerap mengalami kekalahan perang.
Kekalahan kaum ksatria tersebut membuat mereka melarikan diri hingga ke Nusantara yang kemudian berkembang menjadi kerajaan.
F.D.K. Bosch Penentang Teori Ksatria
Menurut pendapatnya, seandainya seorang raja India telah berhasil melakukan penaklukan-penaklukan ke negara-negara jauh, maka akan sangat wajar untuk mempermaklumkannya kepada rakyat dalam salah satu prasastinya.
Begitu pula jika salah seorang dari keturunannya menjadi pendiri dari suatu dinasti kerajaan di negara lain. Sayangnya bukti itu tidak dijumpai baik di Indonesia maupun di India.
Kemudian apabila benar telah terjadi percampuran antara orang asing dari India dan pribumi setidaknya dapat dijumpai sifat percampuran tersebut.
Tipe Dravida memiliki panjang batok kepala lebih dari lebarnya, berkulit sangat gelap, dan berambut keriting atau mengombak.
Sesuai dengan “Hukum Mendel” seharusnya akan muncul sifat ini. Akan tetapi belum pernah diketahui di manapun di Jawa atau Bali.
Dalam segi bahasa, F.D.K. Bosch juga menyatakan keberatannya dengan teori Ksatria.
Seharusnya dengan sendirinya orang asing dari India yang melakukan percampuran darah dengan orang Indonesia menggunakan salah satu dari bahasa-bahasa rakyat baik dari rumpun Aria, bahasa Prakit, ataupun Tamil.
Akan tetapi pada kenyataannya bahasa yang dikenal orang pribumi adalah bahasa sansekerta yang digunakan dalam upacara suci atau dalam ilmu pengetahuan. Mereka tidak mengenal bahasa Prakrit dan Tamil.
Sumber: Buku Silang Budaya Lokal dan Hindu Budha (Kemdikbud tahun 2017)